Unjuk Rasa, Saatnya Beralih ke Unjuk Rasio..!!!

|


Oleh Abd.Tsabit SPsi,...

Sejarah dunia banyak mencatat peristiwa-peristiwa yang dianggap dapat mengganggu harmonisasi suatu bangsa sebagai akibat dari kekerasa massal. Di Uni soviet misalnya, pernyataan politik dari Gorbachev tentang Glassnot dan perestroika telah memicu kekerasan-kekerasan massal yang terjadi sampai sekarang, demikian pula kematian Presiden Tito telah mencetuskan kerusuhan di bekas negara Yugoslavia. Kalau kita amati secara sepintas, memang penyebab kasus-kasus di atas nampaklah berbeda dengan kasus yang sedang hangat terjadi di negeri kita, namun.........


dampak yang terjadi berupa kekerasan massal tidak jauh berbeda seperti yang kita rasakan.
Mencermati maraknya unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa yang cenderung anarkis baik sebelum dan sesudah kenaikan BBM belakangan ini, kiranya perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan baik kalangan akademisi, pejabat pemerintah, masyarakat dan lain-lain. Muncul satu pertanyaan kenapa hal itu bisa terjadi, padahal kita tahu bersama mahasiswa adalah kolektifitas kaum intelektual yang syarat dengan moral dan etika yang selalu menjadi ciri khas.
Mengutip pendapat Neil Smelser pakar psikologi sosial, dia menyatakan bahwa kekerasan massal baik yang berskala kecil maupun yang besar terjadi karena ada enam faktor. Keenam faktor itu adalah ketegangan, suasana yang mendukung, pendapat umum, sarana mobilisasi massa, berkurangnya kendali sosial, dan pemicu. Dari keenam faktor yang disebutkan, penulis hanya akan menyinggung satu faktor saja yaitu faktor ketegangan karena hemat penulis faktor ini nuansanya lebih psikologis namun efeknya bisa terlihat dalam ranah sosial.
Ketegangan (strain) adalah faktor utama yang menjadi benih dari timbulnya kekerasan massal. Faktor ini timbul karena adanya frustasi, yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Karena harapan merupakan faktor subjektif dan relatif, maka kesenjangan yang bisa menimbulkan frustasi dan kekerasan massal ini pun bersifat subjektif dan relatif. Dalam hal ini, realita unjuk rasa yang terjadi di negeri kita adalah persis dengan yang dikemukakan pakar psikologi sosial di atas, di mana mahasiswa sudah frustasi karena harapan-harapan mereka menuntut penolakan kenaikan BBM tidak digubris oleh kesadaran para pejabat elit politik, padahal para pejabat elit politik tahu dan mendengar setiap unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa. Bahkan kenyataan yang terjadi adalah pemerintah tetap menaikkan BBM terhitung sejak tanggal 24 Mei 2008 pukul 00.00 WIB. Sehingga dari sini kekerasan massal yang terjadi seperti di UNAS, UKI, UNHAS Makassar dan Universitas lainnya tak terelakan lagi. Lalu siapa yang mesti disalahkan?
Menyalahkan sepenuhnya kepada mahasiswa tidaklah adil rasanya karena mahasiswa sendiri bukanlah malaikat, tapi mereka adalah sosok manusia yang punya batas ambang kesabaran apalagi motivasi mereka adalah demi memperjuangkan hak-hak rakyat. Menyalahkan kapada para aparat kepolisian juga tidak dibenarkan sepenuhnya karena mereka dalam rangka bertugas menjaga ketertiban dan keamanan. Intinya dalam hal ini tidaklah penting bagi kita untuk mengetahui siapa yang patut disalahkan, yang penting adalah bagaimana ke depan terminologi unjuk rasa yang dinilai rentan dengan nuansa anarkis (subjektif, pengorganisaian yang rapuh, komunikasi (media demonstrasi) yang kurang santun dan cenderung mengandalkan emosional baik pelaku unjuk rasa maupun yang merespon unjuk rasa) ini, sudah saatnya beralih pada paradigma unjuk rasio, yang mana model unjuk rasio ini menekankan kepada objektifitas, pengorganisasian yang elegant, kejernihan berfikir, komunikasi (media demonstrasi) yang santun, sehingga tanggapan atau resfon yang diberikan adalah respon (pelayanan) yang rasional demi kemaslahatan bersama.


Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Masukan Komentar Anda di sini

 

©2009 Insight Community | Template Blue by TNB