" NEO-PREMANISME ANAK SEKOLAHAN"

|


Oleh Abd Tsabit SPsi

Fenomena premanisme dan kekerasan di negeri kita sekarang ini selalu tersaji menjadi menu hangat di setiap media, yang menarik dalam perjalanannya kedua istilah tersebut seakan ber-evolusi menjadi catatan tersendiri di negeri yang terkenal santun ini.
Pada era tahun 70-an kita mengenal istilah "banditisme", kemudian bergeser pada tahun 80-an keatas istilah ini berubah menjadi "premanisme". Tapi kini siapa yang menyangka kalau istilah tersebut tengah berbenah menjadi istilah neo-premanisme. Kenapa mesti neo-premanisme?


Penulis merasa nyaman ketika mengistilahkan neo-premanisme, karena hemat penulis fenomena kekerasan yang kurang bisa dipertanggung jawabkan secara moral ini, kerap kali dilakukan oleh kaum pelajar baik itu mahasiswa maupun ade-adenya mahasiswa (siswa-siswi) yang semestinya mereka selalu mengusung panji-panji moral dan intelektual dalam setiap tutur kata dan tindakannya.
Kita mungkin sudah tutup buku dengan kasus kekerasan yang menggurita di IPDN, tawuran yang terjadi antara mahasiswa UKI dengan YAI di Jakarta tahun lalu, lalu menyusul kasus terhangat yang mulai terendus di STIP Marunda Jakarta yang tak kalah biadabnya. Tetapi penyakit perilaku amoral ini seolah-olah tertular menjangkiti ade-adenya mahasiswa di atas.
Kasus yang hangat disoroti sekarang ini adalah aksi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar SMA di daerah Pati Jawa Tengah, yang uniknya kekerasan ini dilakukan oleh beberapa siswi yang menamakan dirinya dengan sebutan Geng Nero. Apakah ini sebuah fenomena emansipasi wanita yang kebablasaan, sehingga menambah satu poin kenyamanan lagi bagi penulis untuk menyebut fenomema ini dengan istilah "neo-premanisme".
Semua orang dan kalangan berhak mengerutkan dahinya untuk bertanya kenapa hal ini bisa terjadi. Pendapat pun beragam dilontarkan, para sosiolog mengatakan fenomena ini kerap disebut dengan fenomena krisis budi pekerti atau hampanya tatanan nilai. Mereka menegaskan hampanya tatanan nilai atau budi pekerti disebabkan karena pola penanaman nilai dan moral anak dari keluarga yang terkesan setengah hati, yang mana dalam kenyataannya sudah dipercayakan kepada lembaga-lembaga penitipan yang tengah menjadi tren. Tanpa kita sadari bahwa semenjak kecil sampai dengan orang tua rentapun kita masih tergantung dengan lembaga-lembaga penitipan, seperti dari mulai playgroup sampai panti jompo. Hemat mereka sederhana, karena dengan cara itu segalanya menjadi instant dan tidak perlu ambil pusing. Padahal kalau kita tahu, setiap anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya selalu merindukan kelekatan psikologis maupun pendekatan dialogis. Hal demikian itu tanpa disadarai oleh pihak keluarga akan menjadi cikal bakal lahirnya perilaku (behavior) seorang anak yang nantinya akan beranjak dewasa.
Sedangkan pakar psikologi sosial, N. Smelser menyatakan bahwa aksi kekerasan baik yang berskala kecil maupun besar dipicu karena adanya suasana komunitas yang mendukung (condusive). Walau bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah produk dari lingkungannya, perilaku yang muncul merupakan model dimana ia belajar dari hal yang dialaminya. Dalam hal ini aksi kekerasan (neo-premanisme) yang dilakukan oleh segenap siswi yang sering disebut sebagai Geng Nero, dilakukan karena mereka merasa berada dalam suatu komunitas yang selalu diperlakukan tidak wajar oleh seniornya sehingga hal ini menyulut perilaku dendam yang tak berujung bahkan dinilai lebih agresif seakan-akan hilang dari akal sehat layaknya manusia normal biasa.
Lalu kepedulian apa yang mesti kita berikan melihat kenyataan di atas. Ada dua pendekatan yang dirasa sangat humanis dalam melihat fenomena aksi kekerasan anak sekolahan ini, yaitu dengan cara mengasah kecerdasan emosional anak dan menumbuhkan potensi akal sehat (reasoning) anak sejak dari dini.
Mengasah kecerdasan emosional anak, berarti bagaimana anak itu diarahkan untuk bisa peka dengan emosi yang dimilikiya dengan mampu mengendalikan perasaannya sesuai dengan kondisi lingkungannya, mampu mengenali emosi dan perasaan orang lain, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah terganggu emosinya, bereaksi dengan tepat sehingga mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain.
Menumbuhkan potensi akal sehat (reasoning) berarti memberi pemahaman kepada anak bahwa akal sehat adalah akal yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang sehat. Hal itu bisa ditempuh dengan cara senantiasa mengembangkan argumentasi dan dialog dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
Oleh karena itu, dua pendekatan inilah yang seharusnya menjadi ruh sistem pendidikan di negeri ini, pada akhirnya generasi muda mampu untuk senantiasa menghadirkan perdamaian setiap harinya, sehingga tidak menutup kemungkinan Ibu Pertiwi pun pasti tersenyum.

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Masukan Komentar Anda di sini

 

©2009 Insight Community | Template Blue by TNB